Minggu, Januari 30, 2011

Sidang Adat Dayak penyelesaian Kasus Prof Dr Thamrin Amal Tomagola

Sabtu, 22 Januari 2011 yang lalu menjadi hari yang penting bagi masyarakat Adat Dayak dan Prof. Dr. Thamrin Amal Tomagola. Pada hari ini, Prof. Thamrin akhirnya datang ke Palangka Raya, untuk menjalani pengadilan adat atas dirinya, terkait pernyataannya yang menyinggung perasaan masyarakat Suku Dayak ketika menjadi saksi ahli pada persidangan kasus video porno Ariel di PN Bandung pada 2 Desember 2010 lalu, oleh Pengadilan Adat Dayak se Kalimantan. Sebelum menjalani persidangan di Betang Eka Tinggang Nganderang, sosiolog UI ini menggelar jumpa pers untuk melakukan permintaan maaf secara nasional. Adapun isi dari pernyataan maaf ini nantinya juga akan menjadi bahan pertimbangan tujuh Mantir hai ( Hakim Agung ) yang terdiri dari mantir-mantir dari Kalteng, Kalsel, Kaltim, dan Kalbar, dalam mengambil keputusan. Dalam persidangan yang diberi nama “Persidangan Adat Dayak Maniring Tuntang Manetes Hinting Bunu” atau dalam Bahasa Indonesia berarti “ memutus dendam yang berkepanjangan dalam menuju perdamaian kea rah yang lebih baik antara masyarakat Dayak dengan yang disidangkan” ini keamanan Sang Prof untuk datang diadili selain dijamin oleh pihak keamanan juga oleh pemuka-pemuka adat Dayak di Kalteng selaku penyelenggara. Hasil dari persidangan ini adalah final dan mengikat, keputusan yang dihasilkan tidak dirasakan dan kelihatan berat karena tujuannya adalah untuk menyelesaikan persoalan. Namun jika terjadi pelanggaran oleh pihak yang diadili, maka berat resiko yang mungkin terjadi akan berada diluar dugaan dan jarak geografis tidak akan bisa mengganggu resiko.

Dalam pengadilan adat yang memakan biaya sebesar 265 juta ini (berasal dari berbagai sumbangan dan kas MADN ), pasal-pasal yang akan dikenakan kepada Sang Sosiolog UI tersebut ditetapkan oleh Mantir Hai. Menurut A. Teras Narang, Presiden majelis Adat Dayak nasional (MADN) akan diambil dari Hukum Adat Dayak yang disepakati di TUmbang Anoi pada tahun 1894 yang diterima dan berlaku untuk seluruh Suku Dayak di seluruh Pulau Kalimantan, termasuk Sabah dan Sarawak. Bertindak sebagai Tim Jahawen ( Jaksa) dalam pengadilan ini adalah Drs Lukas Tingkes, Sabran Achmad, Dr Siun Jarias, Marthen Ludjen, Ny Inun Maseh, dan Guntur Talajan SH MPd.

Prosesi persidangan diawali dengan masuknya Tim jahawen (tim enam) selaku penuntut hukum adat ke dalam ruang sidang , kemudian pelanggar adat ( Thamrin Tamagola) dipanggil memasuki ruangan dan menduduki kursi yang sudah disediakan menghadap majelis hakim adat ( Mantir Hai ). Selanjutnya Mantir Hai bersama Presiden MADN memasuki ruang siding. Sidang diteruskan dengan penyerahan Sangku Basara, yang melambangkan bukti penyerahan sengketa adat kepada majelis sidang adat, oleh satu orang perwakilan tim enam dan satu orang dari pihak Thamrin Tamagola, lalu Ketua Majelis Sidang Adat menyatakan bahwa persidangan dibuka dan terbuka untuk umum. Selanjutnya tim enam selaku penuntut membacakan tuntutannya yang terdiri atas 5 tuntutan yang mengacu kepada hasil kesepakatan Tumbang Anoi 1894. Tuntutan itu adalah membayar lima pikul garantung yang diserahkan kepada majelis sidang adat, meminta maaf di depan masyarakat Dayak di depan persidangan dan melalui berbagai media lokal dan nasional, kemudian mencabut hasil penelitiannya, dan mencabut pernyataannya pada saat sidang Ariel peterpan, serta membayar uang denda (Singer) untuk upacara adat sebesar Rp 77.777.777.

Setelah menskor sidang selama sekitar 10 menit untuk membicarakan keputusan, akhirnya Mantir Hai membacakan keputusan dan menjatuhkan hukuman terhadap Thamrin. Hukuman tersebut adalah :

1. Meminta maaf kepada seluruh majelis sidang dan hadirin atas pernyataannya yang melukai suku Dayak.
2. Membayar denda berupa gong garantung kepada presiden MADN,
3. Membayar semua biaya pelaksanaan sidang adat yang nilainya sekitar Rp77.777.777
4. Mencabut semua pernyataan yang pernah dia ucap tentang suku dayak yang biasa berhubungan intim tanpa ikatan pernikahan di pengadilan negeri Bandung, pada persidangan kasus asusila yang diperankan oleh Ariel Peterpan
5. Memusnahkan hasil risetnya yang mendiskreditkan suku dayak itu.

Atas hukuman yang dijatuhkan kepadanya sang Sosiolog UI menerima dengan tulus. “Saya meminta maaf kepada seluruh masyarakat dayak, atas pernyataan saya yang menghina, menistakan, dan melecehkan Suku Dayak di Indonesia. Dan dengan tulus ikhlas, saya akan menerima dan menyanggupi semua keputusan dari majelis sidang adat,” kata Prof Thamrin dengan penuh penyesalan.

Demikianlah akhir dari perjalanan kasus ikut meramaikan Nusantara, Kalimantan khususnya, selama hampir 2 bulan ini. Sesuai dengan tujuannya yang tercermin dalam nama persidangannya maka setelah keputusan yang diambil dalam persidangan ini, dan diikuti oleh pelanggar adat, yang dalam hal ini Prof Dr Thamrin Amal Tamagola, tidak ada lagi dendam di antara masyarakat dayak dimana pun berada dengan Prof Thamrin. Kiranya peristiwa ini menjadi sebuah momentum yang semakin memperkuat dan memperteguhkan persatuan dan kesatuan bangsa demi kebangkitan dan kejayaan masyarakat Dayak di tengah-tengah heterogenitas suku-suku bangsa di Nusantara dalam bingkai NKRI.

Sumber :

1. http://jurnaltoddoppuli.wordpress.com/2011/01/21/pengadilan-adat-dayak-terhadap-prof-dr-thamrin-amal-tomagola/

2. http://jurnaltoddoppuli.wordpress.com/2010/04/18/penyeragaman-96-pasal-hukum-adat/

3.Pontianak PostMinggu, 23 januari 2011 : Thamrin diganjar lima tuntutan minta maaf di sidang Adat dayak





Senin, Januari 10, 2011

Penghinaan terhadap masyarakat Dayak oleh seorang Profesor

Kemarin, Minggu 9 Januari, saya menerima sms dari salah seorang murid saya yang kini kuliah di salah satu Universitas di Surabaya,Magrita Inggrit, yang mengabarkan bahwa masyarakat Dayak sedang ramai berdemo terkait pernyataan seorang profesor bahwa free sex di masyarakat Dayak adalah hal yang biasa. Sayangnya saat saya menanyakan lebih detail mengenai masalah ini dia tidak bisa menjelaskan. lalu saya kira ini hanyalah isu kecil, dan saya melupakannya. Namun siang tadi, saat sesi kedua kursus di LBI-UI salemba, saya kembali menerima sms dari salah seorang rekan dari Dango Khatulistiwa Jakarta yang mengajak melakukan aksi di depan istana bersama ketua Dewan Adat Dayak Kalimantan Barat, Bpk. Cornelis (sekarang Gubernur KalBar), pada hari Rabu tanggal 12 Januari 2011 nanti. Adapun aksi ini bertujuan untuk meminta klarifikasi dari prof. Dr. Thamrin Amal Tomagola, Guru Besar FISIP UI, mengenai pernyataannya yang menyatakan bahwa "Dari hasil penelitian saya di Dayak itu, bersenggama tanpa diikat oleh perkawinan oleh sejumlah masyarakat sana sudah dianggap biasa. Malah, hal itu dianggap sebagai pembelajaran seks," saat memberikan kesaksian sebagai saksi ahli yang meringankan pada kasus persidangan video porno Ariel di PN Bandung pada Kamis, 2 Desember 2010 lalu.

Penasaran dengan kasus ini maka selesai sesi kursus saya langsung googling dengan menggunakan key words "prof dr thamrin" maka saya langsung mendapatkan 86.600 hasil dalam 0,08 detik. Setelah membaca duduk persoalan sebenarnya ( di kompasiana , Jurnal Toddopuli ) saya merasa sangat marah, apalagi kebetulan saya dilahirkan dengan entitas ke-Dayak-an saya, bahwa hal ini merupakan suatu bentuk penghinaan terhadap masyarakat Dayak yang sangat menjunjung tinggi nilai moral dan etika. Jangankan untuk melakukan seks bebas, berduaan ditempat gelap/sepi saja maka muda-mudi Dayak akan langsung di hukum adat dan dinikahkan. Selain itu, sebagai salah seorang alumni UI saya merasa malu karena seorang Guru Besar dari salah satu kampus terbaik di Negeri ini memberikan pernyataan yang sifatnya melecehkan suatu etnik, memancing perpecahan suatu bangsa, dan diperoleh dari penelitian yang tidak valid. Bagaimana mungkin seorang profesor (+ Dr ) mengambil sebuah kesimpulan dari penelitian suatu etnik hanya dengan mengambil sampel dari 10 responden ? Apakah ini menjadi sebuah cerminan betapa buruknya riset di negeri ini. semoga saja tidak.

Pernyataan prof. Dr. Thamrin ini telah mendartangkan berbagai protes dari masyarakat Dayak, Baik di Internet, penggelaran aksi di sejumlah tempat seperti Pontianak, Palangkaraya dan Jakarta, juga protes tertulis dari sejumlah Organisasi Pemuda, Adat dan LSM yang berhubungan dengan masyarakat Dayak. Mereka semuanya mengutuk pernyataan tidak berdasar Sang profesor tersebut dan menuntut dia untuk segera meminta maaf kepada seluruh masyarakat Dayak dan di jatuhi hukum Adat.

Diantaranya :

Aktor kawakan yang juga putra Dayak, Piet Pagau, pada 6 januari 2011 pukul 12.08 menulis di FB: “Sdra2ku sebangsa setanah air, krn sdh menyangkut harga diri, martabat, harkat kita Bangsa DAYAK, hrp sdr2ku yg Pengurus Perkumpulan, Kekeluargaan, Paguyuban, Forum Dayak 4 Provinsi Kalimantan, membuat pernyataan tertulis dan sampaikan langsung ke PN BANDUNG, menolak kesaksian Prof. Thamrin Amal, agar Majelis Hakim mengabaikan kesaksian tsb dalam pertimbangan vonis kasus Ariel krn apa yg dikatakannya dalam kesaksian tsb adalah tdk benar dan ybs harus minta maaf secara terbuka kepada bangsa kita melalui media massa. Tembuskan ke semua media cetak / elektronik yg memuat berita tsb dan ke UI. Saya siap turut bertanda-tangan”

Selasa, 4 Januari 2011 sebanyak 23 organisasi dan LSM yang berhubungan dengan masyarakat adat Dayak di Kalimantan Barat mengirim surat protes kepada kompas.com dan inti dari surat terbuka tersebut dimuat kompas.com esok harinya. Ke-23 lembaga tersebut menyatakan:

1. Bahwa pernyataan tersebut telah mendiskreditkan dan menimbulkan persepsi negatif publik terhadap masyarakat Dayak bahkan menjurus ke arah fitnah yang merendahkan harkat, martabat dan harga diri masyarakat Dayak secara keseluruhan.

2. Bahwa pernyataan di atas menunjukkan yang bersangkutan tidak sensitif dan tidak memahami keberagaman suku bangsa di Indonesia pada umumnya, dan khususnya suku bangsa Dayak secara utuh.

3. Bahwa hasil penelitian yang dirujuk tersebut tidak akurat karena menggeneralisir semua suku bangsa Dayak. Untuk diketahui, di Kalimantan Barat saja ditemukan sejumlah 151 sub suku Dayak (lihat “Mozaik Dayak: Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat”, Pontianak: Institut Dayakologi, 2008).

4. Bahwa pernyataan tersebut telah mempertaruhkan dan mengorbankan harkat, martabat dan kredibilitas suku bangsa Dayak secara keseluruhan hanya demi membela kasus asusila video porno mirip Ariel.

5. Bahwa pernyataan tersebut telah melukai hati dan meresahkan masyarakat Dayak.

Berdasarkan poin 1, 2, 3, 4, dan 5 di atas, maka Kami mendesak Saudara Prof. Dr. Tamrin Amal Tamagola untuk:

1. Menyampaikan klarifikasi secara tertulis melalui media massa nasional (elektronik maupun cetak).

2. Mencabut pernyataan pada Kompas.com (Kamis, 30/12/2010) yang dimuat di media massa nasional (elektronik maupun cetak).

3. Menyampaikan permintaan maaf secara tertulis kepada suku bangsa Dayak secara keseluruhan yang harus dimuat pada media massa nasional (elektronik maupun cetak).

Surat tertanggal 4 Januari 2011 tersebut disampaikan 23 lembaga, antara lain Yayasan Karya Sosial Pancur Kasih (YKSPK), Pontianak, Institut Dayakologi, Lembaga Bela Banua Talino (LBBT), WALHI Kalbar, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalbar, Lembaga Dayak Panarung (LDP) Kalteng, AMAN Kalteng, Perkumpulan Nurani Perempuan, Samarinda Kaltim, Lembaga Pemberdayaan Pergerakan Rakyat (ELPAGAR) Kalbar, Lembaga Adat Dayak Tobak, Sanggau, Kalbar, Aliansi Masyarakat Adat Banua Ningkau (AMA-BN) Sintang, Kalbar, Gerakan Masyarakat Adat Kabupaten Melawi (GEMA-KAMI) Kalbar, Persatuan Masyarakat Dayak Limbai (PERMADALI), Melawi Kalbar, Gerakan Masyarakat Adat Serawai (GEMAS), Sintang Kalbar, Persatuan Masyarakat Dayak Ransa (PEMADAR), Melawi Kalbar, PERUGOK MACAN MAYAO, Sanggau Kalbar, FORMALAK (Forum Mahasiswa Landak) Kalbar, Sekretariat Masyarakat Adat Dayak (SKAK-MAD) Kapuas Hulu, Kalbar.

Tanggal 6 Januari 2010 Forum facebooker Aliansi Penulis Dayak (APD) mengirim surat protes kepada redaksi www.kompas.com dan ditembuskan ke Dewan Pers, PWI dan AJI terkait pemberitaan portal kompas.com tersebut.

APD menyampaikan protes keras atas berita yang dimuat portal www.kompas.com tertanggal 30 Desember 2010. “Pernyataan Pro.Thamrin Amal Tamagola tersebut jelas merupakan fitnah, kabar bohong, rasis dan telah menimbulkan kebohongan. Kami sangat menyangkan www.kompas.com memuat pernyataan Prof. Thamrin tersebut tanpa melakukan cek, ricek dan tanpa mempertimbangkan akibat yang ditimbulkan dari pemberitaan tersebut,” tulis pernyataannya.

Menurut APD, pemberitaan tersebut telah melanggar UU Pers, UU ITE dan KEWI.

Sesuai Pasal 5 ayat (1) UU Pers Nomor 40 tahun 1999 yang berbunyi: “Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah”.

Pasal 28 ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang berbunyi: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Pemberitaan di rubric entertainment kompas.com tanggal 30 Desember 2010 tersebut juga melanggar Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia yang ditetapkan di Jakarta 14 Maret 2006. Yakni :

Pasal 3:Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
(Kompas.com tidak melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu dan tidak berimbang).

Pasal 4: Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
(berita yang dimuat Kompas.com adalah bohong dan fitnah).

Pasal 8: Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani. (berita yang dimuat Kompas.com adalah bohong dan fitnah).

Pasal 10: Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.(Kompas.com tidak segera mencabut, meralat dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembacanya).APD meminta agar Redaksi kompas.com mencabut berita tersebut dan meminta maaf kepada masyarakat Dayak karena secara jurnalistik dan secara hukum berita tersebut telah melanggar UU Pers dan UU ITE.


Terkait pernyataannya yang kontroversial tersebut Prof. Dr. Thamrin meminta maaf.

Makin meluasnya protes dan kemarahan masyarakat Dayak di Indonesia nampaknya membuat Prof. Dr. Thamrin dengan berat hati harus meminta maaf. Abdon Nababan, Sekjen AMAN melalui milist adatlist@yahoogroups.com mem-fowardkan surat elektronik berisi klarifikasi dan permintaan maaf dari Prof. Dr. Thamrin Amal Tamagola. Berikut isinya.

Kepada Seluruh saudaraku warga masyarakat Dayak yang saya hormati, Pertama-tama dan yang paling utama dengan segala kerendahan hati saya memohon maaf yang sedalam-dalamnya telah menyinggung kehormatan warga Dayak dan adat-istiadatnya yang mulia. Sebagai penjunjung asas bhinneka tunggal ika saya berupaya bersama-sama banyak teman senusantara untuk memuliakan asas kebhinekaan sampai kapanpun.

Kedua, saya berkewajiban untuk mengklarifikasi apa yang sesungguhnya terjadi dan terucapkan dalam kesaksian saya di peengadilan kasus Ariel di Bandung, 30 Desember yang lalu. Adalah saya yang menawarkan diri lewat suatu acrara di TV One untuk menjadi saksi ahli yang meringankan. Tawaran itu saya berikan karena menurut pendapat saya, kasus Ariel itu menyangkut hak-pribadi dasar warganegara. Dengan bersaksi saya ingin menegakkan prinsip-prinsip dasar dalam hidup bermasyarakat dan bernegara-bangsa. Karena saya menolak imbalan dalam bentuk apapun untuk kesaksian yang saya berikan. Keluarga Ariel pernah menawarkab ‘fee’, akomodasi dan transportasi. Semuanya saya tolak. Dalam kesaksian saya, saya menekankan tiga nilai fundamental: kemajemukan, toleransi dan penghormatan atas keunikan suatu budaya.

Selama hampir 1 jam saya berupaya meyakinkan majelis hakim tentang penjunjungan ketiga nilai fundamental itu. Hakim Ketua, meminta contoh konkrit. Saya lalu mengacu pada temuan penelitian kualitatif saya sewaktu menjadi konsultan di Depertemen Transmigrasi tahun 1982-1983. Pennelitian kualitatif saya lakukan di Kalimantan Barat dan Papua Selatan. Pada masing-masing lokasi saya melalukan wawancara mendalam dengan 10 ibu-ibu usia subur sebagai informan saya. Kepada majelis hakim saya tegaskan bahwa atas dasar hanya 10 informant, temuan saya samasekali tidak dapat digeneralisasi terhadap semua puak dan warga Dayak. Paling banter, temuan itu hanya sebagai petunjuk-petunjuk sementara yang masih perlu diuji lagi.

Sewaktu berhadapan dengan wartawan di laur sidang, dengan bertubi-tubinya pertanyaan wartawan, saya samasekali tidak sempat menjelaskan secara detail seperti yang saya kemukakan di ruang sidang pengadilan. Saya sangat menyesal tidak menyiapkan penjelasan tertulis untuk dibagikan pada wartawan. Akhirnya yang termuat di media adalah kutipan sepotong-sepotong yang ‘out of context’. Sangat dapat dimengerti bila saudara-saudara saya warga Dayak sangat tersinggung dan marah oleh pemberitaan seperti. Saya sungguh-sungguh menyesal telah menimbulkan amarah, yang wajar dari seluruh warga masyarakat Dayak, dan untuk itu, sekali saya memohon maaf yang sebesarnya. Saya belajar banyak dari kesalahan ini dan berjanji pada diri saya, khususnya kepada seluruh warga masyarakat Dayak, dan umumnya kepada semua warga masyarakat adat nusantara, untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama di masa depan.

Semoga semua kita tetap rukun dan damai dalam kebhinnekaan nusantara kita. Salam kebhinnekaan.

Tamrin Amal Tomagola Pada Jum, 07 Jan 2011 14:38


Namun nasi sudah menjadi bubur, permintaan maaf melalui media saja belumlah cukup. Masyarakat dayak adalah masyarakat yang masih memegang teguh adat istiadat. Pernyataan profesor tersebut sudah melukai ratusan bahkan puluhan ribu hati masyarakat dayak,maka secara adat Beliau harus di hukum adat.

Menurut YP Laway, seorang professor adalah intelektual, berpangkat, terpandang, status beda jauh dengan masyarakat biasa. ”Karena salah nunjuk saka salah, kepangpang buruk/ngiring kora kepote, kotam kebubu. Maka apa yang disampaikannya sehingga melukai komunitas masyarakat maka dalam hukum adat bisa juga dianggap membutakan mata, memburukn hati, mencapa babahn, menikam hati mambar darah,” kata YP Laway, pemuka masyarakat yang berdomisili di Sandai. Karena itu, tak cukup dengan permintaan maaf melalui SMS/media massa. Karena adat Dayak itu hidup dikandung adat, mati dikandung tanah. Hidup bapamalu, mati bapamali. Jadi harus ada agah pandir tutur kata basungk adat pada masyarakat adat melalui para tetua petinggi adat. Baru adat cicil harisnya dengan maksud memberitahu bahwa acara beradat dan hukum adat selesai. Ia menjelaskan hukum adat dilakukan atas dasar: Fakta, realita, cepat, tepat, lugas dan tuntas. “Hukum adat tidak ada peninjauan kembali setelah basurungk adat maka dianggap beres keseluruhan,” kata pria yang akrab dipanggil Panglima Bunga. Ia menuturkan dengan melaksanakan hukum adat akan terjadi perdamaian tuntas antara Profesor Thamrin dengan masyarakat dayak. Masyarakat Dayak tidak lagi khawatir akan terjadi bencana alam, sakit dan penyakit karena hubungan sudah dipulihkan. Semangat sudah kembali keruang, dipulihkan berkat hukum adat. Maka, dengan Pak Profesor dan masyarakat Dayak jangan melihat untung dan rugi. Tetapi esensi yang terkandung di hukum adat itu harus dilihat. (http://www.pontianakpost.com)

Belajar dari kasus ini, maka sangatlah penting bagi kita yang mengaku sebagai seorang terpelajar untuk selalu mengutamakan asas praduga tak bersalah dan berhati-hati dalam memberikan pernyataan. Jangan sampai pernyataan kita justru memberikan keresahan pada masyarakat daripada memberikan ketenangan.